Kamis, 04 Desember 2008

Kisah Kehidupan: Bait - Bait Aku, Ayah dan Dudayev

. Kamis, 04 Desember 2008

Oleh: Helvy Tiana Rosa

Kuraba pinggangku. Tambang untuk mendaki erat berada di sana. Ups, beban yang kubawa berat juga. Gandum masak, air minum dan beberapa potong pakaian dalam ransel. Kubuka jilbab yang kupakai. Entah mengapa aku merasa kurang leluasa dengan jilbab ini.
Uh, susah payah aku mendaki. Beberapa kali hampir terpeleset. Sempat kusaksikan pula pesawat pembom SU-24 milik Rusiamelayang-layang di atas desa-desa, membombardir, memusnahkan semua!
Sejenak kupejamkan mata...,

ba**ngan! Gigi-gigiku beradu keras! Baru saja kepalaku muncul dari bawah tebing....
“Vakha!”
“Assalaamu'alaikum, ayah!”
Ayah menjawab salamku dengan keras.
“Mengapa kau lagi yang mengantar perbekalan ke mari? Aku kan sudah melarangmu! Mengapa bukan orang yang kukirim untuk turun gunung?! Mana Abbas?!” berondong beliau.
“Kita sudah sepakat, Vakha Bolsov, tidak ada naik gunung lagi! Jaga ibumu di rumah! Hei, mana jilbabmu??”
Ayah membiarkanku naik ke atas sendiri. “Yakin tak ada yang mengikutimu?”
Aku menggeleng. “Abbas syahid, ayah! Bom jarum Rusia mengenainya. Aku mengenali mayatnya tergeletak tak jauh dari rumahkita.”
Ayah tersentak sejenak. “Innalillahi...,” lirihnya.
Tetapi...,”Tidak ada naik gunung lagi, Vakha! Ini yang terakhir! Apa kau tak malu, tak ada wanita di sini!” kata ayah dengan nada gemas.
“Pakai jilbabmu!” bentak beliau. Beberapa anggota pasukan melihat ke arah kami. Aku menunduk sambil memasang jilbab kusamku.
“Ada apa, Zakaria?” suara yang penuh kesejukan menyapa ayah.
“Bapak Presiden, maafkan saya! Ini makanannya sudah datang!”
Presiden? Jendral Dudayev? Ah, sudah lama aku ingin berbincang-bincang dengannya! Pak Presiden yang tegar dan gagah, aku sangat mengaguminya!
Dan..., ya ampun, ia juga cuma makan gandum?
“Istirahat sebentar di ujung sana, setelah itu pulang!” tegas ayah.
“ Tapi...ayah ...,”
“Masya Allah, anakmu seorang muslimah!” Jendral Dudayev tertawa.
Setelah menjaga jarak ia menegurku dengan santun, “Siapa namamu?”
“Vakha Bolsov, Jendral!”
“Kau pandai mendaki tebing. Kau sangat berani!”
“Ayahku yang mengajari sejak aku kecil. Aku adalah anak satu-satunya. Aku suka bila ikut bertempur dan tidak hanyamemasak....”
“Vakha!”
“Biarkan, Zakaria, “Jendral Dudayev membetulkan letak papakha yang dipakainya.
“Berapa umurmu?”
“Delapan belas tahun!”
“Insya Allah kita akan bentuk pasukan khusus wanita. Ada Bano Halimova, Khadijah dan Alleva istriku..., mau bergabung?”
Aku mengangguk cepat dengan mata berbinar.
***
Itulah awal pertemuanku dengan Presiden Dudayev, Juni 1994. Tak lama setelah itu situasi kian genting hingga ayah ditarik menjadi komandan tempur di Grozny. Hampir bersamaan dengan itu, ibu meninggal terkena bom jarum Rusia. Bom jenis ini meledak di udara dan menebarkan besi-besi kecil runcing semacam paku, dengan radiasi beberapa ratus meter. Paku-paku bersuhu panas itu turun dengan kecepatan tinggi. Bahkan atap rumah kami dapat ditembusnya! Saat itu aku menangis melihat tubuh beliau yang tampak mengenaskan karena tersayat-sayat dan tercerai berai.
“Aku akan mengenangmu dengan terus berjuang, bu...,” mataku membengkak dan aku menggigil sepanjang malam sejak kematian ibu. Tetapi tiap pagi, aku naik ke atas bukit, berlatih melempar pisau ke sebuah batang pohon dan membayangkan wajah-wajah pasukan Rusia yang selalu tertawa dan menyeringai seram itu, menjadi sepucat lilin di musim dingin, saat pisau-pisauku melukai mereka.
Beberapa hari dalam duka, sebuah helikopter menjemputku untuk menemui ayah.
“Presiden memintamu menghadap ke istana kepresidenan,” ujar ayah sambil memelukku.
Aku terkejut!
“Pasukan khusus wanita akan dibentuk, beliau membutuhkan bantuanmu. Ayah sudah menceritakan semua. Bahwa kau mahir memanjat, bela diri, bergerilya hit and run dan berpisau. Beliau sangat menghargainya.”
“Ayah sudah tahu tentang... ibu?” tanyaku hati-hati.
Ayah mengangguk sambil menarik napas panjang. “Syahidah,” gumamnya pelan dengan suara bergetar.
“Bidadariku dalam jannah,”
Matahari membuat air yang jatuh satu-satu di pipinya bercahaya. Aku dan ayah berpelukan erat sekali lagi dan memberi ruang untuk ibu di antara dekapan kami. Semangat perempuan tabah itu tak pernah meninggalkan kami dan Chechnya.
***
Tiada kusangka aku bisa masuk ke istana kepresidenan. Dan ketika aku ditemani ayah masuk ke ruangan presiden, yang pertama kali tertangkap oleh mataku adalah suasana keislaman yang kental. Hampir di tiap dinding terdapat kaligrafi, bahkan di atas foto Dudayev terdapat ayat Al Quran.
Ternyata langkah awal yang diinstruksikan Presiden Dudayev adalah agar aku melatih para muslimah sekitar Grozny untuk menghadapi serangan besar-besaran Rusia. Sementara Bano Halimova dan Ukhti Khadijah, tokoh muslimah Chechnya yang juga kukagumi karena kehebatannya tersebut ditugaskan ke daerah lain.
“Bentuk pasukan khusus wanita setelah kau melihat kemampuan para muslimah Grozny. Tidak usah terlalu banyak orang, yang penting handal.”
Aku mengangguk.
“Ingatkan juga mereka, di atas segalanya, iman adalah senjata sekaligus kekuatan utama kita!” kata beliau tegas.
“Selamat berjuang, Vakha!”
***
November 1994, pasukan pemberontak dukungan Moskwa menyerbu Grozny dan beberapa wilayah lain. Rupanya Rusia berupaya memecah belah. Tetapi skenario yang disusun untuk menggulingkan Dudayev ini gagal. Rusia lupa, rakyat Chechnya hanya berjumlah 1,2 juta jiwa dan 700.000 di antaranya mengangkat senjata bersama Dudayev, termasuk aku!
Desember, 1994, Rusia kian menggila. Tank-tank, pesawat dan jet tempur serta bom-bom pembunuh Rusia kian mendekati Grozny. Ayah dan aku terlibat pertempuran panas di perbatasan Grozny. Kini tak jauh di hadapanku kulihat tubuh ayah telah bersimbah darah. Tetapi ia tetap kokoh berdiri, bergerak ke sana-ke mari menghajar musuh.
“Vakhaaaaa! Habisi mereka!!” seru beliau.
“Ayah, bertahanlah! Aku akan melindungimu!” teriakku.
“Allaaaahu akbarr!!”
Ayah tertawa. “Orang-orang Kaukasus telah muslim sejak masa Umar bin Khatab! Vakha, sekali lagi...takbiiiir!!”
“Allaaaahu Akbar! Allaaahu Akbar!!” teriakku sekuat tenaga.
Ayah tertawa-tawa. “Vakha, hit and run!”
Aku melemparkan dua granat tangan ke arah tank Rusia, ayah juga. Kemudian kami berlari sekencang-kencangnya! Tetapi ayah mulai tampak lemah..., semakin melemah....
“Ayaaaah!”
Sebuah bom menuju ke arah kami. Di tengah hingar-bingar peperangan dan pecahan-pecahan tubuh manusia, kudengar ayah berteriak parau, “Va...kha...,” ayah melepaskan tanganku. “Lari! La...ri..., nak...,”
Airmataku berderai. Samar-samar kulihat senyum tipis ayah sebelum bom bom itu meledak di dekat kami! Aku melompat beberapa kali di udara! Tanah di sekitar amblas! Bom penetrasi! Allah, jasad ayahku kini amblas ke bawah tanah!
Seperti saat ibu pergi, pedih sekali lagi mencabik-cabik diri ini. Bumiku pecah terburai. Aku terhuyung, serasa melayang. Di mana bumi? Tubuhku mengawang. Srigala Hitam! Ayah! Sekelebat kutangkap tatap mata ayah setajam belati. Lalu bau wangi.
“To...long....”
Aku terperangah. Masih dengan linangan air mata kuseret kakiku satu-satu ke arah datangnya suara.
“Aku Ovald..., sampaikan apda...ayah...ku...aku per...gi ke...la...ngit...,” seorang pemuda berwajah pias dengan luka tembakan di sekujur tubuh, memohon padaku.
“Siapa ayahmu? Siapa?”
“Du...da...yev....”
***
Semakin mengenalnya, aku semakin salut pada Presiden Dudayev.
“Hal yang paling saya sedihkan adalah meninggalnya ribuan penduduk sipil, meski saya terpukul dengan kematian Ovald. Maka perjuangan fisabilillah tak akan berhenti sampai kita merdeka atau syahid,” katanya suatu ketika di hadapan para anggota pasukan.
“Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa kemerdekaan tak pernah dihadiahkan oleh penjajah, tetapi harus direbut!” tegasnya lagi.
Jendral Dudayev membaca sebuah ayat Al Quranul Karim tentang jihad. Fasih dan langsung diartikannya. Aku ingat, ayah pernah mengatakan bahwa Presiden Jauhar Dudayev memang pandai berbahasa Arab dan pernah ke Al Azhar sebelum masuk dinas militer Uni Sovyet. Aku juga melihat kebanyakan yang dekat dengannya adalah ulama-ulama Chechnya!
***
15 Februari, 1996, pagi itu pecah pertempuran besar. Pasukan muslimin yang langsung di bawah komando Jendral Dudayev terdesak mundur.
“Vakha, bawa keluar segera wanita dan anak-anak dari Grozny!”
“Siap, Jendral!” sahutku.
Aku berusaha memobilisir wanita, anak-anak dan lansia bergerak melalui jalan lain yang lebih aman. Tetapi seluruh Grozny tampaknya telah terkepung!
Maka terjadi pertempuran di jalan-jalan. Penduduk sipil akhirnya menjadi bulan-bulanan mortir dan bom Rusia! Tetapi banyak juga di antara mereka yang bangkit melawan dengan gagah. Bahkan aku melihat anak-anak dan para lansia tak mau ketinggalan!
Sasaran utama Rusia di antaranya sumur-sumur, kilang minyak, pabrik-pabrik kimia dan rumah sakit. Juga...istana presiden! Suara bom, mortir, tembakan dan roket berbalur jerit tangis dan pekik ribuan manusia! Aku sangat mengkhawatirkan keselamatan Jendral Dudayev!
Sementara kulihat Grozny nyaris rata dengan tanah! Mayat-mayat bergelimpangan tanpa bentuk di sepanjang jalan. Jilbab pendekku penuh cipratan darah!
Istana kepresidenan di tangan Rusia!
***
Aku selalu memikirkan keadaan Jendral. Komandan tempur Shamil Basayev mengatakan beliau baik-baik saja. Aku tetap cemas. Begitulah, hingga tiba tanggal 5 Maret. Menurut rencana esok hari kami akan memasuki Grozny. Semua pasukan terlibat, termasuk pasukan khusus wanitaku yang disamping turut bertempur, juga bertanggung jawab untuk masalah perbekalan makanan dan minuman.
“Komandan Vakha!”
Aku menoleh. Komandan Aslan Maskadov masuk dan memberikan sepucuk surat untukku tanpa bicara apa pun. Tergesa-gesa kubuka surat itu dan seperti tak percaya aku mulai membacanya....
Kepada Saudaraku fillah Vakha Bolsov di bumi jihad, segala puji hanya pada Allah dan shalawat bagi Rasulullah. Pupuk terus semangat perjuangan. Dengan iman di dada dan perencanaan yang matang, segala senjata Rusia tak kan berarti apa-apa. Dan masa depan hanyalah milik kaum beriman. Teguhlah! wassalam, Dudayev
***
Keesokan harinya kami menyerang Grozny. Ternyata pasukan Rusia tampak siap menghadapi serangan. Tetapi tanpa kenal henti berhari-hari kami bertempur di jalan-jalan Grozny. Ratusan orang tewas. Rusia mengalami kerugian teramat besar walau pada akhirnya Grozny belum mampu kami rebut kembali! Tak lama setelah itu Shamil Basayev memerintahkanku untuk pindah ke daerah Ita-kam, meneruskan latihan dan membantu menegarkan kaum wanita di sana.
***
23 April 1996 memang hari yang tak akan pernah bisa kulupakan.
“Bersiap-siaplah Vakha! Kau dan wakilmu Sayyida akan dikawal menuju Gekhi-Chu. Kita akan merundingkan strategi nasional di sana,” suara Basayev tegas terdengar.
Aku segera bersiap-siap. Daerah Gekhi-Chu berada sekitar 30 km sebelah barat daya Grozny. Jalan ke sana amat berat. Selain itu, bisa jadi senja ini pasukan Rusia berjaga-jaga di sekitar daerah itu. Tetapi dugaanku keliru. Tak ada rintangan di jalan. Bahkan jalan-jalan yang kami lewati begitu lengang bagai mati. Hanya terdengar hembusan angin kencang dan lolongan anjing-anjing liar.
“Assalaamu'alaikum,” sebuah suara sejuk menyapa rombongan kami.
“Jendral!” aku terkejut sekaligus gembira.
“Vakha! Dan...Sayyida, bukan? Anak Komandan Vladimir? Mari masuk, tempat wanita di sebelah sana,” ujar beliau ramah pada kami semua.
Subhanallah, inilah presiden kami. Begitu saleh, merakyat dan sangat bersahaja! Ba-yangkan, beliau juga tak pernah melupakan nama siapa pun yang pernah dikenalnya. Luar biasa.
Usai maghrib, sekitar dua jam beliau memberi pengarahan untuk strategi nasional Chechnya. Memang kuakui, mantan panglima divisi pembom strategis Angkatan Udara Uni Sovyet dan bekas direktur intelejen di Estonia ini sangat cerdas dan cermat dalam mengambil langkah-langkah perjuangan.
“Jadi semua jelas. Berangkatlah. Oh ya, Vakha, bagaimana dengan laporan adanya pembantaian dan perkosaan di desa-desa?”
“Memprihatinkan, Jendral! Rusia biadab itu tak ada bedanya dengan anjing-anjing Serbia! Laporan tertulis telah saya sampaikan pada Komandan Basayev.”
Dudayev mengepalkan kedua tangannya. Wajahnya keruh sesaat. Kudengar ia menyebut-nyebut nama mentri pertahanan Rusia, “Pavel Grachev, apa yang kau arahkan pada pasukanmu? Ya Allah, beri kami semangat jihad dan kesabaran. Ya Allah, jangan tinggalkan kami. Ya Allah....”
Untuk pertamakalinya kulihat Jendral Dudayev menangis. Tetapi pemimpin pantang menyerah ini kemudian dengan tetap semangat memberikan pengarahan kembali.
Agar tak menarik perhatian Rusia atau siapa pun, selesai pengarahan kami semua harus pergi segera dari Gekhi-Chu kembali ke pos masing-masing, begitu perintah Jendral Dudayev. Sebenarnya berat bagi kami semua berpisah dengan Jendral. Biar bagaimana pun beliau adalah orang nomor satu yang dicari Rusia! Bahkan aku pun ingin melindunginya semampuku. Namun kami harus pergi. Dan ini perintah!
Rombongan kami sudah cukup jauh, ketika tiba-tiba terdengar ledakan yang sangat keras!! Jantungku nyaris berhenti!
Kulihat roket-roket beterbangan, percikan api dan kepulan asap yang menebal dari arah persembunyian Jendral Dudayev! Kami semua keluar dari kendaraan, masuk ke semak-semak dan tiarap!
“Gekhi Chu! Presiden!” teriakku sambil berusaha menahan airmata.
“Kita harus kembali!! Jendral di sana!!!” kataku histeris.
Tak ada yang berusaha kembali. Tak ada yang menenangkanku. Tak ada yang melakukan apa-apa. Semua terperangah. Sekuat tenaga aku berusaha kembali ke Gekhi-Chu. Kakiku lemas. Aku terjerembab!
“Presiden, pe...mim...pin...kami....”
***
“Innalillahi, beliau telah pergi bersama dua ratus syuhada lainnya. Tetapi ruh jihad Jendral akan selalu bersama kita,” ujar Yandarbiyev. Aku baru kali ini bertemu dengan wakil presiden ini, karena ia sering sekali ke luar daerah. Dan kini ia ditunjuk sebagai pejabat presiden.
“Dan kita tak akan berhenti berjuang, karena dengan iman segala senjata Rusia tak berarti apa-apa. Masa depan hanyalah milik orang beriman,” ujarku tegas.
“Siapa anda? Anda benar! Itu adalah kata yang selalu diucapkan almarhum!” seru Yandarbiyev.
Keningnya berkerut sesaat. “Anda...Va...kha?”
Aku menangis. Diam-diam. Perjuangan harus terus berlanjut walau orang keras itu telah pergi selamanya. “Tidak ada kekuatan di dunia ini yang bisa mengalahkan aspek ritual kaum muslimin,” suaranya seperti kudengar lagi, di antara deru angin dan senjata di pegunungan Kaukasus. “Islam akan menjadi landasan negri ini,” seakan kutangkap bayangannya di hutan-hutan Chechnya....
Aku masih menangis diam-diam..., saat mengenangnya.

0 komentar:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

 

Pengikut

about me...

Foto saya
saya cuma seorang newbie yang tertarik dengan komputer..... dari situlah saya mulai belajar........ thanks bgt buat o-om cz tutorial sama templatenya,GBU.. (etho)
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com